Tuesday, December 31, 2013

Anti-klimaks menjelang Hari Ibu 2013.

Postingan ini sebenarnya sudah jauh-jauh hari ingin aku tulis.Tapi apa daya.
Badanku lemas, aku dengan mudahnya kelelahan akhir akhir ini. Aku pikir, sial sekali.  Sebelum mencapai anti-klimaks, aku harus menceritakan cerita yang panjang ini.
Jika kamu tidak berniat untuk membaca, aku bilang jangan. Jangan hanya karena tidak membaca, lalu kamu banyak bicara.

Suster mengukur tekanan darahku pukul 03.00 padahal aku baru bisa terlelap pada dini hari.
Sungguh, rasa sakitnya kepala ini sudah bukan main. Ingin rasanya aku tidur hingga sakitnya hilang dengan keajaiban untuk selamanya. Sebelum aku bisa kembali terlelap, suster kembali masuk untuk mengambil darahku pukul 04.00 dini hari itu. Lalu dia memberikan sebaskom air untuk aku membasuh bersih tubuhku. Ya Tuhan, jangankan untuk membasuh tubuhku, bangun untuk duduk saja rasanya sulit.
Dan lagi lagi hingga pukul 05.00 sakit kepala itu masih betah tinggal. Padahal sudah 4hari. Sedangkan pukul 07.00 santapan sarapan sudah diberikan. Mual rasanya, tidak punya selera makan. Tidak punya energi untuk makan. Kesulitan untuk beristirahat membuat kepalaku menjadi-jadi
Waktu.. dan waktu.. terus berlalu..

Tubuhku rasanya lemas, seperti tidak memiliki raga. Jalanku sempoyongan. Badanku panas, 
kepalaku seperti dipukul dari berbagai arah. Berat rasanya bergerak sedikit lalu kepala ini rasanya berdenyut dengan sangat. Waktu demi waktu aku habiskan di tempat tidur rumah sakit, rasanya jam sangat lama berlalu jika aku terbangun. Tiap kali kelopak mata terbuka, yang aku lihat hanya tetesan demi tetesan labu yang mengalir melalui infusan hingga menyatu dengan aliran darahku. Nyamuk sialan. Atau aku yang sialan? Nyamuk sajalah, Aku ingin nyamuk penyebabnya. Aku positif demam berdarah, dengan ekstra  typus.

Hanya berawal dari yang aku kira migrain biasa, yang biasa aku rasakan.

"Sya ko jutek banget?"
"Kenapa mendadak diem?"

Maaf, bukan maksudku untuk seperti itu, Itu karena aku merasakan denyutan kepala yang tak bisa membuatku banyak bergerak. Kalian tidak tau bagaimana rasanya. Aku tidak ingin mengatakan bahwa aku sakit. Karena itu sangat sering. Dan aku tidak ingin keseringan itu justru membuat aku manja.
Aku hanya tidak ingin terlihat menyedihkan. Atau manja. Tapi aku tidak munafik, aku ingin diperhatikan.
Walau memang "ah ngga apa apa" selalu terlontar begitu saja.

Biasanya aku hanya merebahkan badan dan menengadahkan kepalaku di atas kasur.. Menahan denyutan yang berulang kali membuatku merasa sakit. Atau disela-sela aktifitas, aku hanya akan bersender di dinding atau senderan mobil. Atau di sela-sela perkuliahan aku hanya akan menaruh telapak tanganku dengan pijitan kecil di dahi hingga ke ubun ubun.. Kadang, alternatif lain mungkin kopi. Tapi itu tidak selalu ampuh. Dan tentu berefek besar untuk lambungku, Jadi aku coba hentikan hal ini. Kamu bilang obat, tapi sayang. Sudah tidak mempan.
Semuanya terjadi amat sering. Tidak kenal waktu, tidak kenal dimana, tidak kenal sedang apa. Biadab.
Astagfirullah..
Untunglah aku masih bisa kuat.


Berawal dari sakit kepala berdenyut dini hari pada hari Rabu, rasanya sakit luar biasa hingga aku terbangun dari tidurku.
Kepalaku terasa seperti dipukul dengan palu baja, sangat berdenyut dan aku tak mampu bergerak sedikitpun. Sakit rasanya hingga ke ubun-ubun.
01.00 aku terbangun dan menangis tanpa suara, menahan rasa sakit yang luar biasa.
Aku tidak ingin membangunkan kedua orang tuaku, aku tidak ingin mengganggu jam istirahat keluargaku hanya karena sakit sialan ini. Padahal selama aku terjaga, ketika bunda bangun, bunda berkata "Kenapa ngga bangunin bunda?" Dia tidak keberatan. Aku yang keberatan mengganggu istirahatnya.
Lalu aku tertidur.
03.00 aku kembali terbangun, kepalaku sakit lagi. Bersyukurlah aku masih bisa mengingat Tuhanku hingga aku mampu mengucapkan kalimat tasbih dan takbir. Sakit rasanya. Aku gulingkan badanku ke kanan, ke kiri, berharap sakitnya hilang.
Hingga akhirnya aku berusaha mengambil air wudhu dan melakukan shalat sunnah tahajud.
Badanku lemas, jalanpun sulit. Aku bahkan shalat sembari duduk lemas. Hingga akhirnya aku jatuh dipojokan sofa dan menangis tanpa suara, menahan rasa sakit. Allahu Akbar. Mungkin inilah alasan mengapa shalat boleh dilakukan dengan 3cara, Allah tau ada kalanya hambanya kesulitan.

Setelah 3 hari nyeri berdenyut itu hilang, aku terserang demam tinggi hingga akhirnya aku di sarankan rawat inap karena demam berdarah dan typus.
Setiap saatnya aku lemas dan hanya bisa menatap tetesan labu, dan kelambu yang menutupi tempat tidurku.

Aku merasa bersalah. Merasa menjadi anak yang tidak tahu diri. Padahal mungkin, bunda tidak pernah keberatan.

Tiba saatnya hari ibu.
Inilah menjelang klimaksnya
Pikiranku rasaya merajalela diriku sendiri, aku benar benar tidak bisa tidur rasanya.
Selimutku tidak hangat. Aku malah mandi keringat.
Kakiku panas bak api unggun dihadapannya berjarak kurang dari sejengkal.
Badanku panas membuatku gelisah.
Pasien lain membuatku berpikir jauh lebih liar.
Aku akan menua dan membutuhkan pertolongan. Urat maluku harus ku sayat habis habisan karena ketida berdayaannya aku.
Pasien di ujung ruangan membuatku berdoa agar kuat saat renta, tidak merepotkan siapa-siapa, diberikan ingatan yang kuat dan jauh dari kepikunan, bisa mengurus diriku sendiri, sehat selalu hingga aku bisa melihat cucuku dan mengingatkannya untuk berdo'a untuk neneknya dan buyutnya. Bunda lah buyutnya ketika aku menjadi nenek untuk cucuku.


Bunda duduk disampingku, memakai mukena dan kacamata seraya melantunkan ayat suci dari Yassin Fadillah, meminta kepada Yang Maha Kuasa untuk mencabut semua penyakitku. Visit dokter malam itu membuatnya terkejut.

Aku tidak mahir membuat kalian menangis, membayangkan kalian melihat bendera kuning karena ternyata orang tua kalian meninggal. Aku tidak mahir. Tapi sekarang, aku hanya ingin kalian bayangkan apa yang aku bayangkan malam itu.
Yang aku lihat hanya tetesan labu, kelambu dan cahaya lampu. Kelopak mataku berat. 
Bagaimana rasanya jika kamu melihat ibumu merawatmu setiap harinya dan menutupi kelelahannya? Aku tau, sangat lelah.
Bagaimana rasanya setiap malam kamu hanya berharap, besok kamu masih hidup dan kembali berusaha membahagiakan orang tuamu? Bukankah apa yang kalian lakukan, semata-mata untuk membuatnya bangga? Bagaimana jika kebanggaan itu belum ada dan kamu lebih dulu mati?
Bagaimana rasanya jika kamu yang mati lebih dulu? Jangankan amal. Apa yang sudah kamu berikan kepada kedua orang tuamu? Jangankan harta. Menjadi anak yang berbakti saja, aku rasa belum cukup. Tegakah kamu melihatnya menangis? Meminta ampunan dosa untukmu?
Bagaimana rasanya menjadi ruh yang melihat kedua orang tuamu menangis diatas tanah tempat terakhirmu sedangkan kamu bahkan tidak bisa lagi menyentuhnya dan memintanya berhenti menangis karena kamu menjadi sangat sedih karenanya?
Bagaimana rasanya ketika kamu mati dan tidak ada lagi genggaman hangat dari Ibumu? Tidak ada lagi yang menemanimu malam hari? Hanya amal teman baikmu.

Aku sangat menyayangi bundaku. Sangat. Aku bahkan meneteskan air mata jika sebenarnya ia tau. Ingin rasanya aku bersujud meminta maaf padanya detik itu juga. Meminta maaf padanya bahwa aku menjadi tanggung jawabnya.
Aku meneteskan air mata, membayangkan bagaimana rasanya jika aku yang lebih dulu mati... Berterimakasih saja, rasanya tidak cukup.


Hari ibu disitu dan hal yang kita tau hari itu, meneteskan air mataku.
Tapi aku bersyukur, ke-esokan harinya, hari demi hari seiring aku berjuang untuk sembuh dan kembali membaik. Satu persatu dari kalian datang.
Aku bersyukur, aku peduli, ternyata aku dipedulikan.
Terimakasih do'a dan kunjungannya. Dibalik niat, pasti ada pahala.
Sehatlah terus, jangan repotkan ibu kalian.


----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Beberapa jam lagi tahun baru 2014. Lusinan atau bahkan ribuan do'a aku yakin sudah kalian siapkan.
Jangan hanya tulis itu di media sosial. Tapi tulislah itu di Lauhul Mahfudz, buku takdirmu. Caranya? Mintalah. Berdo'a. 
Kita tidak tau apa yang bisa terjadi dalam satu tahun. Kita tidak tau akan sekuat apa kita nanti.
Kita tidak tau seberapa panjang umur kita. Kita tidak tau, siapa yang lebih dulu mati.


-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Semua orang punya haknya, dan semua orang punya alasan atas apa yang mereka lakukan. Dan inilah hak-ku.Aku sayang orang yang menyayangiku. Inilah bukti bahwa aku selalu sayang bunda.

Sore ini, kedua mataku menjadi saksinya ketika aku menuliskan do'aku untuk kalian. Untuk kita.
Semoga diberi umur panjang, diberikan kesehatan yang tidak kunjung habis.. Tidak kekurangan apapun.
Semoga keluargaku, orang tuaku, teman-temanku, berumur panjang dan sehat selalu.
Semoga kalian yang membaca, diberikan kesehatan yang yang selalu jauh lebih baik.


Selamat tahun baru 2014, ingatlah bahwa setiap orang yang kamu temui, sedang berjuang melawan sesuatu. banyak yang bisa terjadi dalam satu tahun. Jangan selalu berpikir umurmu panjang.
Ridhollohu wa ridho lidain : Ridho Allah, adalah ridho orang tua.







Tertulis saat senja. 
Bandung, 31 Desember 2013.
Fasya Vadya Freedanella.




No comments:

Post a Comment